Senin, 10 Maret 2014

RAHASIA SUPERSEMAR

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah catatan sejarah yang sampai saat ini keabsahannya masih menjadi kontroversi. Secara umum, isi Supersemar adalah perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jendral Soeharto saat itu yang secara implisit mengalihkan tanggung jawab kepresidenan.

Adapun latar belakang keluarnya Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 ini, versi resminya adalah sebagai berikut. Menjelang akhir tahun 1965, operasi militer terhadap sisa-sisa G-30-S/PKI boleh dikatakan sudah selesai, hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno. PKI belum dibubarkan. Sementara krisis ekonomi semakin parah. Laju inflasi mencapai 650%. Tanggal 13 Desember 1965 bahkan dilakukan devaluasi, uang bernilai Rp 1.000,00 turun menjadi Rp 1,00. Sementara itu, harga-harga membumbung naik. Hingga pada bulan Januari 1966 para mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dengan salah satu pentolannya Soe Hok Gie telah melakukan aksi demonstrasi kepada pemerintahan Soekarno. Selama 60 hari, dengan dipelopori para Mahasiswa Universitas Indonesia, seluruh jalanan ibukota dipenuhi demonstran. Aksi yang dilancarkan melalui demonstrasi maupun melalui surat kabar tersebut intinya mengecam Soekarno dan jajarannya yang tidak peduli kepada rakyat. Mreka menyampaikan Tri tuntutan rakyat (Tritura), yang isinya: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.

Sementara itu, sejak terjadinya peristiwa gerakan 30 September 1965, terjadi perbedaan pendapat antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Perbedaan pendapat berfokus pada cara untuk mengatasi krisis nasional yang semakin memuncak setelah terjadinya G-30-S tersebut. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan. Sementara Soekarno mengatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karenahal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangakan ke seluruh dunia. Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan berikunya di antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakn diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden.


Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet yang dijuluki “Kabinet 100 menteri” (karena jumlah menterinya mencapai 102 orang) mengadakan sidang paripurna untuk mencari jalan keluar dari krisis. Sidang diboikot, para mahasiswa mengadakan pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden) memberitahukan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun ada jaminan dari Pangdam Jaya brigjen Amir Mahmud, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno yang tetap merasa khawatir, pergi dengan helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrie dan Dr. Khairul Saleh.

Setelah itu, tiga perwira tinggi AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustriian), dan Brigjen Amir Mahmud, dengan seizin atasannya yaitu Jenderal Soeharto yang menjabat Menpangand merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Soekarno di Bogor. Di sana ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden dengan didampingi ketiga Waperdam, yaitu Dr. Soebandrio, Dr. Khairul Saleh dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam itu berkisar seputar cara-cara yang tepat untuk menghadapi keadaan dan memulihkan keadaan presiden.

Akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk membuat surat perintah yang ditujukan kepada Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan memulihkan keamanan negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden, dan melaporkan kepada Presiden. Jadi Soeharto diberi kewenangan untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan Presiden. Teks surat dirumuskan oleh ketiga wakil perdana menteri bersama perwira tinggi AD yang disebut di atas ditambah dengan Brigjen Sabur sebagaisekretaris surat itu kemudian ditandatangani oleh Presiden. Serah terima secara resmi Surat Perintah 11 Maret 1966 dari ketiga Perwira Tinggi TNI-AD kepada Presiden Soeharto dilaksanakan saat itu juga, sekitar pukul 21.00 WIB, bertempat di Markas Kostrad. Surat inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar).

Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut. PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia terhitung sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian, 15 menteri yang dinilai terlibat dalam G-30-S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura, sudah dilaksanakan, Namun kewibawaan Presiden Soekarno tidak pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpinan nasional, yaitu Soekarno sebagai presiden dan Soeharto sebagai Pengemban Super Semar yang dikukuhkan dalam ketetapan MPRS No. IX/MPRS/66.

Soeharto kemudian ditugaskan membentuk Kabinet Ampera yang dibebani tugas pokok memulihakan perekonomian dan menstabilkan kondisi politik. Konflik kepemimpinan tampaknya berakhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto selaku Pengemban Tap No. IX/MPRS/66.

Surat Perintah Sebelas Maret ini yang banyak dipublikasikan adalah versi resmi dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ada yang mengatakan nasakah aslinya sebanyak dua halaman, di pihak lain ada yang menyebutnya hanya satu halaman (seperti versi resminya).

Adapun menurut H.M. Yusuf Kalla yang merupakan orang kepercayaan Jenderal Yusuf –salah satu saksi hidup pada pembuatan Supersemar- mengatakan bahwa naskah asli Supersemar sebenarnya ada di tangan mantan Presiden Soeharto. Hal itu disampaikan Kalla di sela-sela kedatangannya melayat Jend. Andi Muhammad Yusuf, Kamis 9 September 2004. “Naskah aslinya, itu di tangan Pak Harto sebenarnya. Karena pada waktu malam itu, beliau (Jenderal Jusuf) menyerahkan ke Pak Harto,” kata Kalla. Saat ditanya soal kemungkinan adanya kopian yang dipegang Jend. Yusuf, Kalla mengatakan, “Tentu banyak dokumen-dokumen di tangan dia (Jenderal Jusuf). Dokumen-dokumen yang menyangkut tugas-tugas. Tapi itu milik pribadi beliau.” (dari www.tempointeraktif.com)

Nah, peristiwa 11 Maret ini sering dikatakan sebagai kudeta terselubung dari Soeharto terhadap Soekarno, padahal atas dasar beberapa referensi yang saya dapat, hal ini sebenarnya kurang tepat.

Secara pengertian, kudeta (coup d’etat) merupakan pengambilan atau penggulingan kekuasaan (seizure of, topple of, state power) secara paksa dan mendadak. Atau bisa diartikan bahwa ketika terjadi kudeta dari A ke B, maka saat itu juga si A kehilangan kekuasaan dan si B mengemban kekuasaan sepenuhnya.


Dengan adanya Supersemar, Letjen. Soeharto saat itu belum menjadi penguasa tertinggi di Indonesia. Secara de facto dan de jure, Soekarno masih berstatus Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Banyak diceritakan bahwa Soekarno didesak untuk melakukan perlawanan fisik terhadap klik Soeharto, namun Soekarno yang cinta damai menolaknya dan memilih untuk melewati jalan damai akan konflik politiknya dengan Soeharto.

Soekarno sendiri dalam setiap kesempatan terus menerus menyampaikan penolakan terhadap tekanan-tekanan Soeharto. Sedikitnya, ia sering membantah laporan luar negeri bahwa dirinya telah digulingkan oleh Soeharto. Berikut adalah pernyataannya yang ia sampaikan pada sambutan Peringatan Idul Adha di Masjid Istiqlal 1 April 1966, 3 minggu stelah keluarnya Supersemar.

“Sang duta besar kita harus menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat kabar- surat kabar nekolim itu tidak benar. President Soekarno has not been toppled, Presiden Soekarno tidak digulingkan. President Soekarno has not been ousted. Presiden Soekarno tidak ditendang keluar. President Soekarno is still president. Presiden Soekarno masih tetap presiden. Presiden Soekarno is still supreme commander of the armed forces. Presiden Soekarno masih tetap Panglima Tertinggi daripada Angkatan Bersenjata!”

Adapun mengenai Supersemar itu sendiri, pada sambutannya memperingati 40.000 jiwa pahlawan Sulawesi Selatan di Istora pada 10 Desember 1966, Soekarno mengingatkan bahwa:

“It (Supersemar) is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan, untuk ini, untuk itu, untuk itu. Perintah itu bisa juga saya berikan, misalnya, kepada Pak Mul. Muljadi Pangal (Panglima Angkatan Laut, pen.). Saya bisa juga perintahkan kepada Pak Sutjipto Judodihardjo, apalagi dia itu Pangak (Panglima Angkatan Kepolisian, pen.). Saya bisa: He, Sdr. Tjip Pangak, saya perintahkan kepadamu untuk keamanan, kestabilan jalannya pemerintahan. Untuk keamanan pribadi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dan lain-lain sebagainya. I repeat again: it is not a transfer of authority. Sekadar satu perintah! Mengamankan! ”

Namun sejarah mencatat bahwa Soeharto memanfaatkan Supersemar untuk sedikit demi sedikit mengambil alih kekuasaan Soekarno. Bahkan dia memantapkan tujuannya itu dengan cara merekayasa terselenggaranya Sidang Umum (SU) MPRS pada Juli 1966. Hasilnya, 2 ketetapan yang “mendukung” Soeharto, keluar, yaitu TAP No. IX/1966 dan TAP No. XV/1966. Dengan adanya ketetapan ini maka seolah Supersemar telah “dikukuhkan”, dari hanya “sekedar” perintah eksekutif, menjadi “ketetapan” yang hanya MPR itu sendiri yang berkewenangan untuk mencabutnya. TAP yang pertama memberikan jaminan terhadap Letnan Jendral Soeharto, untuk setiap saat menjadi presiden “apabila Presiden berhalangan”. Namun, MPRS saat itu tidak memberikan penjelasa apapun tentang apa yang dimaksud dengan “berhalangan”.

Sejak SU MPRS ini, kesan terjadinya dualisme kepemimpinanpun semakin hebat. Padahal dualisme kepemimpinan ini hanya rekayasa. Yang sebenarnya terjadi adalah adanya semacam perlawanan politik dari Soeharto kepada Soekarno. Apapun yang diucapkan Soekarno, selalu mendapat penentangan dari militer yang sepenuhnya dikendalikan Soeharto, serta para mahasiswapun terus-menerus berdemonstrasi di seluruh pelosok tanah air.

Di satu pihak, Soeharto hampir sepenuhnya mengambil alih kekuasaan, di pihak lain Soekarno terus-menerus meneriakkan bahwa dirinya masih Presiden dan Panglima Tertinggi yang sah.

“Dualisme kepemimpinan nasional” yang semakin kuat ini menimbulkan isu publik bahwa penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto merupakan jalan terbaik untuk mengakhiri krisis politik. Karena bargaining power-nya yang semakin lemah, Soekarno tidak punya pilihan lain kecuali berkapitulasi. Beberapa permintaannya pun ditolak, seperti jaminan keamanan dan sebagainya.

Maka, pada 20 Februari 1967 sekitar pukul 5 sore Soekarno di Istana Merdeka menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan. Soeharto datang sendiri ke Istana didampingi beberapa petinggi militer. Namun, pengumumannya ditunda hingga “saat yang tepat”. Oleh sebagian sejarawan, peristiwa 20 Februari 1967 inilah yanga dikategorikan sebagai “kudeta” Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Dengan dokumen tersebut, Soekarno kehilangan semua kekuasaannya. Sebaliknya, Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.

Tanggal 22 Februari 1967 pagi, berita tentang penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto ternyata sudah bocor ke luar. Bahkan sudah ada koran yang memberitakannya Menjelang pengumuman dokumen penting itu pada 22 Februari 1967 pukul 19:00, Soekarno dengan wajah kesal bertanya kepada Soeharto yang duduk disampingnya sambil menunjuk-nunjuk Koran yang dimaksud: “Kenapa beritanya sudah bocor?” Soeharto jawab sambil tersenyum: “Cuma menerka-nerka saja……”

Perhatikan Diktum pertama pengumuman Presiden Soekarno pada 22 Februari 1967 ini: “Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti ABRI terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Jenderal TNI Soeharto sesuai dengan ji- wa Ketetapan MPRS No XV/ MPRS/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.”


Jadi, penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto didasarkan pada TAP MPRS No XV/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa “Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Surat Presiden 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden”. Tapi, apakah Soekarno ketika itu berhalangan atau berhalangan tetap sehingga ia tidak lagi bisa menjalankan kekuasaannya? Tidak, menurut Prof. Dahlan Ranuwihardjo, yang saya kutip dari http://www.suarapembaruan.com, Soekarno sehat wal’afiat ketika mengumumkan transfer of power-nya di Istana. Secara fisik, ia masih gagah perkasa, apalagi muncul dengan seragam kebesarannya, lengkap dengan segala atribut kehormatan di dadanya yang bidang. Soekarno sengaja dibuat “berhalangan” – dalam arti pemerintahannya tidak lagi efektif, selama kurang-lebih 8 bulan oleh klik militer pimpinan Soeharto, sehingga timbul kesan berbahaya karena Indonesia tidak memiliki pemerintahan yang efektif.

Wallaahu a’lam. Bagaimana menurut Anda?

Referensi:

- www.suarapembaruan.com/News/2008/03/11/index.html, 19 September 2008

- www.tempointeraktif.com, 19 September 2008

- www.antara.co.id, 19 September 2008

- indonesiakemarin.blogspot.com, 19 September 2008

- Wikipedia Indonesia, www.wikipedia.or.id

www.youtube.com, (Arsip Nasional RI, cuplikan pidato Soekarno)

Sabtu, 08 Maret 2014

HARI MUSIK NASIONAL

Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui bahwa tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres No. 10 Tahun 2013 telah menetapkan tanggal 9 Maret sebagai peringatan Hari Musik Nasional. Jadi tahun 2014 ini merupakan tahun kedua setelah resmi ditetapkan Presiden. Maklum saja jika banyak orang yang tidak paham mengenai hal ini. Sebenarnya peringatan Hari Musik Nasional telah lama diadakan, namun baru diresmikan oleh pemerintah pada tahun 2013 lalu.

Mungkin kita sebagai orang awam ini hanya bertindak sebagai penikmat musik saja yang tidak mau tahu tentang urusan-urusan seperti itu. Tidak perlu dan butuh mengurusi masalah perayaan ini itu dan tetek bengek lainnya yang tidak penting bagi kita. Kita cuma butuh menyiapkan kedua kuping kita jika ingin mendengarkan musik kesukaan kita untuk menghilangkan stress, memicu inspirasi, atau sekedar untuk menemani disaat kita sedang mengerjakan sesuatu. Bahkan mungkin kita membutuhkan musik untuk mengekspresikan apa yang ada dalam benak kita.

Pemilihan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional bukannya tanpa alasan. Tanggal 9 Maret adalah hari dimana telah dilahirkan tokoh nasional Wage Rudolf Supratman. Beliau bisa disebut sebagai Bapak Pemersatu Bangsa Indonesia berkat lagu ciptaan beliau bertajuk ”Indonesia Raya”. Rakyat Indonesia yang berisikan berbagai suku bangsa, ras, agama, golongan dan berbagai latar belakang kebudayaan secara ajaib bisa berbaur dan bersatu padu dalam semangat Sumpah Pemuda yang untuk pertama kali lagu kebangsaan kita ”Indonesia Raya” berkumandang. Lalu akhirnya tiap bait dari syair lagu ini merasuk ke dalam tiap pembuluh darah, tiap jengkal tubuh, dan tiap tarikan nafas segenap rakyat Indonesia.

Ketua Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI), Tantowi Yahya pada acara syukuran Hari Musik Nasional, Selasa, 12 Maret 2013 mengatakan, "Sebagai insan musik penetapan hari itu adalah kabar gembira bagi kami. Kami tentunya bangga." Beda lagi kalau yang ditanya wartawan adalah orang awam yang bukan insan musik. Tidak akan peduli dengan Hari Musik Nasional. Pokoknya hanya mendengarkan musik saja lah. Malahan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab telah, akan dan terus menggerus industri musik Indonesia. Orang awam tidak tahu betapa sulit dan bersusah-payahnya insan musik memproduksi karya musik mereka sehingga bisa dinikmati oleh kita para penikmat musik.

Pembajakan karya musik di Indonesia memang telah berlangsung lama dan sangat merugikan bagi penikmat musik, terlebih lagi bagi produsen musik itu sendiri. Apalagi sekarang ini sudah ada teknologi internet. Semua tinggal klik sana-sini dan data-data bisa disimpan dan digunakan. Biaya relatif murah dan pasti gampang diperoleh. Kita mungkin menganggap download lagu itu bukan pembajakan. Tapi tindakan tersebut secara tidak langsung telah merugikan penjualan kaset dan CD musik. Tapi walau begitu tidak ada yang ditangkap polisi karena download lagu. Tindakan tersebut masih belum dimasukkan kategori pembajakan. Tapi jangan ditanya kalau soal CD bajakan. Orang Indonesia sudah ahli masalah bajak membajak.

Apapun hasil dari kejahatan pasti tidak akan berkah. Setidaknya itu yang dikatakan oleh pemuka agama. Padahal musik bisa dijadikan sebagai sarana pendidikan juga. Dulu ketika jamannya Agnes Monica dan Joshua masih kecil, musik anak-anak menjadi santapan sehari-hari saya. Perilaku anak-anak jaman saya dulu sangat terkendali dan membantu perkembangan berpikir seumuran anak-anak. Beda dengan jaman sekarang yang tidak jelas mana musik anak-anak dan mana yang musik khusus dewasa. Dilingkungan saya dan mungkin lingkungan Anda juga, pasti banyak anak-anak yang bahkan sudah hafal dengan lagu-lagu yang sebenarnya tidak pantas dinyayikan dan dinikmati oleh anak-anak. Generasi pemuda masa kini cenderung mengalami perkembangan ke arah yang negatif. Generasi patah hati. Generasi galau. Generasi yang ketika putus cinta langsung dengan mudahnya lari ke narkoba, minuman keras, atau malah bunuh diri.

Pemuda pemudi bangsa sudah seharusnya menjadi penerus bangsa. Sungguh tidak terbayangkan jika mental pemudanya loyo, letoy, lemah kayak tape dibanting, penyet. Masa depan bangsa ini tidak bisa dipertaruhkan ditangan penerus bangsa yang seperti itu. Keadaan ini mungkin saja terus berlangsung jika musik – sebagai bahasa universal – yang terus didengar oleh pemuda masa kini hanya musik sendu yang berisi patah hati, putus cinta, pengkhianatan cinta, galau dan sebagainya. Apa yang didengar akan tersimpan di alam bawah sadar dan terwujud dalam perilaku pada kenyataan. Untung saja masih ada musik yang berenergi dan menjadi pemersatu bangsa. Selain kumandang National Anthem yang menggetarkan hati, ada lagi lagu “Garuda Di Dadaku” milik grup band Netral. Luar biasanya lagu ini setara atau mungkin melebihi lagu kebangsaan. Terbukti seorang Menpora RI malah belepotan ketika mengumandangkan lagu “Indonesia Raya”.

Pemerintah dalam hal ini – ngurusin musik – harus memperhatikan penikmat musik. Jangan sampai pangsa pasar penikmat musik salah sasaran. Pihak Komisi Penyiaran Indnesia (KPI) harus dengan ketat dan tidak segan mencekal artis-artis musik yang nyeleneh dan tidak layak untuk dinikmati masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan porsi juga yang sesuai dengan umur mereka. Bukannya malah terus dijejali oleh musik dangdut koplo atau musik dewasa bertema cinta. Waduuh.

Bagaimanapun kita tidak boleh berhenti berharap. Mungkin peringatan Hari Musik Nasional bisa memperbaiki dunia permusikan Indonesia. Semoga saja. Amiiin.



Rabu, 05 Maret 2014

HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 8 MARET 2014


Kaum perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Sudah banyak peristiwa penting di sejarah masa lampau yang melibatkan sosok-sosok perempuan hebat. Hari peringatan yang menjunjung tinggi kaum perempuan juga telah banyak diperingati di dunia. Indonesia sendiri memperingati Hari Ibu dan Hari Kartini sebagai bentuk penghargaan terhadap kaum perempuan. Penghargaan terhadap hak-hak perempuan makin bertambah dengan adanya peringatan Hari Perempuan Internasional yang diperingati tiap tanggal 8 Maret.

Hari Perempuan Internasional diperingati tentu dengan tujuan agar hak-hak perempuan di seluruh dunia diperhatikan dan sama rata dengan hak-hak laki-laki. Paling tidak itulah misi dari sebuah gerakan Feminisme yang mulai tren pada tahun ’60 an. Kaum perempuan mulai memperjuangkan kesetaraan hak dengan laki-laki dalam segala bidang. Oleh karena itu makin banyak bermunculan tenaga kerja perempuan yang terampil dan kemampuannya setara dengan laki-laki. Bahkan sekarang makin banyak posisi startegis dalam berbagai perusahaan ditempati oleh para perempuan cerdas dan berpendidikan tinggi. Peranan perempuan juga mulai mendapatkan porsi tersendiri di bidang sosial dan politik. Bahkan perkembangan selanjutnya muncul tokoh-tokoh politik yang dikagumi masyarakat dunia seperti Margareth Tatcher, Gloria Arroyo, Aung San Suu Kyi, dan Megawati Soekarnoputri.

Gerakan-gerakan feminisme sangat berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Lalu kemudian feminisme tersebar ke seluruh dunia yang dibawa oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Namun masih ada saja kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki kepada kaum perempuan. Kenyataan ini mungkin saja disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah ke bawah terhadap kesetaraan gender. Sangat mungkin sekali paradigma kuno masyarakat yang menganggap bahwa perempuan adalah ratunya rumah tangga, dalam paraktekknya ternyata hanya dimaknai secara sempit. Sehingga dianggap perempuan hanya cocok untuk masak, merawat anak di rumah, berdandan, pemuas sex laki-laki dan melahirkan anak.

Hak perempuan seperti barang mahal yang hanya bisa dimiliki oleh orang kaya. Sulit sekali menegakkan kesetaraan gender bila perilaku dan cara pandang masyarakat terhadap kaum perempuan tidak berubah. Malah yang ada tindak kekerasan pada perempuan makin marak terjadi. Terutama tindak kekerasan yang dilakukan suami pada istrinya. Tindak KDRT ini makin beresiko ketika anak-anak mereka melihat dan mengalami sendiri di depan matanya. Bukankah apa yang dilakukan oleh orang tuanya sangat mungkin ditiru oleh anaknya kelak ketika sudah berumah tangga?

Tindak kekerasan terhadap perempuan seperti sudah mencapai titik terendah. Bagaimana tidak. Perempuan sudah dijadikan barang komoditi dagangan ke luar negeri. Biasanya perempuan-perempuan bernasib malang korban trafficking ini dijual untuk diperkerjakan menjadi pelacur atau dijadikan budak. Sungguh sangat ironis sekali nasib perempuan Indonesia. Ditengah gaung feminisme dunia, ternyata keadaan di Indonesia masih seperti ini.

Namun kita masih layak bersyukur karena masih ada sosok-sosok perempuan yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan memberikan kesadaran bagi masyarakat bahwa perempuan juga mampu membangun bangsa jika diberi kesempatan. Terbukti dengan adanya kaum perempuan yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di luar negeri. Sebut saja nama-nama seperti Susi Susanti yang berhasil juara bulu tangkis olimpiade Barcelona 1982. Ada lagi Liliyana Natsir dan Greycia Poli. Lisa Rumbewas di cabang angkat besi juga merupakan lifter perempuan yang hebat dan mengharumkan nama bangsa. Bahkan sosok perempuan juga sempat menjadi pemimpin bangsa, seperti Megawati Soekarnoputri.

Peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini mudah-mudahan akan menjadi awal baru bagi kebangkitan kaum perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak mereka agar tidak ketinggalan dan diperlakukan semena-mena oleh kaum laki-laki.

Happy International Women’s Day.
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template