Ya, tanggal 14 Februari lalu adalah peringatan peberontakan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Awalnya PETA dibentuk atas restu Jepang berdasarkan surat Raden Gatot Mangkuprojo kepada Gunseikan (pimpinan militer Jepang di Indonesia) bertanggal 7 September 1943. Konon surat tersebut ditandatangani oleh darahnya sendiri. Isi dari surat tersebut antara lain adalah agar dibentuk pasukan bersenjata non-wajib militer untuk kalangan sendiri bertujuan melindungi dan mempertahankan Pulau Jawa. Para ulama pada saat itu juga berpendapat perlunya pembentukan pasukan khusus rakyat Jawa. Ide tersebut dianggap Jepang merupakan bentuk dukungan dalam perang Asia Timur Raya untuk kemenangan Jepang. Oleh karena itu, Gunseikan menyetujui pendirian PETA.
Akhirnya secara resmi pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan langsung oleh Letjen Kumakichi Harada, tentara Pembela Tanah Air berdiri sebagai tentara sekarela. Pada saat itu pusat pelatihan tentara PETA mengambil tempat di Bogor.
Peran tentara PETA sangat besar dalam proses kemerdekaan Indonesia. Dari sinilah awal dari munculnya keberanian rakyat Indonesia untuk melawan penjajah. Banyak tokoh-tokoh besar yang lahir dari PETA. Antara lain Panglima Besar Soedirman dan mantan presiden Soeharto. Selanjutnya tentara PETA berevolusi menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Oleh karena itu, PETA dianggap sebagai cikal bakal TNI.
Pada tanggal 14 Februari 1945, terjadi pemberontakan tentara PETA di Blitar yang dipimpin oleh Syudanco Supriyadi. Namun pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Jepang. Supriyadi yang memimpin pemberontakan tersebut dinyatakan hilang dan tidak pernah ditemukan jasadnya jika mungkin sudah gugur. Sampai sekarang pun jika beliau masih hidup, sudah ada beberapa orang yang mengaku sebagai Supriadi, namun identitas aslinya masih diragukan.
Muradi yang bertugas sebagai pemimpin lapangan tetap bersama pasukannya hingga akhir. Mereka semua ditangkap, diadili dan disiksa dalam penjara oleh Kenpeitai (Polisi Militer). Lalu akhirnya mereka dieksekusi mati dengan hukuman penggal pada tanggal 16 Mei 1945, sesuai dengan hukum militer Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang Pantai Ancol).
Untuk mengenang perlawanan PETA tepat di lokasi perlawanan didirikan monumen PETA yang terdiri dari 7 patung dalam sikap menyerang. Tepat di tengah-tengah adalah Syudanco Supriyadi sebagai pemimpin perlawanan. Sedang asrama PETA kini menjadi SMP dan SMU Negeri. Namun bila dilihat dari bentuk bangunannya ada kesan itu merupakan bangunan asrama militer. Tugu tempat pengibaran bendera merah putih saat pemberontakan kini menjadi taman makam pahlawan.
Peristiwa pemberontakan itu sendiri akhirnya selalu diperingati tiap tahun agar semangat perjuangan tentara PETA selalu merasuk dalam setiap rakyat Indonesia dan meningkatkan rasa patriotisme yang sudah mulai luntur dari hati orang Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar