"Izinkan aku memanggilmu adik, wahai saudaraku..!". Kalimat itu seakan menjadi parang yang sengaja menyabit hatiku. Aku tak menyangka, bahkan seperti mimpi buruk di pagi hari saat kalimat itu terdengar parau dari mulutnya. Hhmm... jujur saat itulah hatiku benar-benar sakit, aku tak mampu berbuat apa-apa kecuali menunduk dan sedikit menyadarkan diri dalam hatiku....
Bruuugkh.... mata kita beradu. Detak jantungku semakin hebat. Nadiku pun ikut berdesir. Aku bisa merasakan nafas dan bau asma' yang ia kenakan.
Tanpa sadar mataku pun mulai terlelap, menuju mimpi-mimpi indahku malam ini.
Kenapa semuanya seperti ini....? Hari ini semuanya terjawab. Dan hatiku berhasil tergores parang hingga membuatku luka.
Setelah proses akad nikah, aku kembali ke kamar, berganti baju dan membasuh butir-butir air mata yang tadi sempat mengalir deras dengan air wudhu. Aku ingin segera keluar dari hari ini, hari yang membuat hatiku luka, seperti luka "Aisyah" yang ada di cerpenku kemarin. Segera kuambil ransel biruku, tapi langkahku tertahan, air mataku kembali mengalir saat kulihat jaket putih yang kukenakan kemarin pagi saat aku bersamanya. "Ah... Siffa... yang lalu biarlah berjalan". Segera kuhapus air mataku.
"Nanti kamu juga akan tahu...". Kalimatnya saat itu membuat hari ini semakin pedih. Inikah jawaban dari semua itu? Huuuft.... kuhembuskan nafas panjang, membenahi kerudung dan menghapus bekas air mataku. Aku ingin segera menulis harianku ini dalam novelku, agar semua orang tahu bahwa Allah itu Maha Adil. Akupun tersenyum, dan melangkah membuka pintu.
"Ya Allah.... Hamba tahu Engkau memang Maha Adil. Engkau tlah mempertemukan malaikat-Mu padaku. Walau akhirnya Engkau ambil dia untuknya...""Mas.... Umi sama Abah nyariin kamu....!". Suara yang tiba-tiba itu membuat aku semakin meyakini semua kenyataan yang sudah tertulis. Ku lihat pemuda itu menerima pelukan Mbak Ratih, aku tersenyum canggung.
"Udah kan ngobrolnya....?", tanya Mbak Ratih.
"Owh.... udah kok Mbak. Lagian Siffa masih mau pelatihan jurnalis".
"Hhmm jadi Siffa mau berangkat sekarang...?", ujarku sembari mengambil ransel yang kuletakkan di atas meja.
"Terus nanti...?"
"Owh iya, mungkin Siffa lama, jadi gak bisa ikut acara sampai nanti, gak apa-apa kan Mbak? Salamkan ke Umi dan Abah. Siffa berangkat Mbak...!", sahutku, mencium tangan Mbak Ratih.Aku bergegas ke garasi untuk mengambil mobil dan segera pergi.
*******
Pagi yang cerah itu membuatku bersemangat melakukan kegiatan rutinitas di hari minggu, sehabis sholat dhuha aku bergegas mengambil peralatan jurnalis yang segera kukemas di dalam ransel biru kesayanganku. Aku langsung berselancar keluar dari kamar, setelah kurasa semua sudah beres.
Umi membelai kerudung putihku saat aku cium tangan beliau yang sedikit menua begitu juga dengan Abah. Hhmm.... Aku jadi ngerasa anak tunggal kalau gini, padahal aku masih punya kakak perempuan yang lagi menimba ilmu di Yogyakarta."Umi... Abah....!!", ujarku menghampiri mereka yang sedang bernostalgia di ruang keluarga.
"Mau berangkat sekarang, Siff...?", tanya Umi.
"Iya Umi.... mmm kunci mobilnya mana?", tanyaku.Umi tak segera menjawab, beliau memandang Abah yang sedang menelpon seseorang.
"Bawa ke rumah sekarang, Man...!!", terdengar suara Abah.
"Abah ngapain Mi...?", tanyaku penasaran.
"Tunggu Abahmu sebentar Siff...!", ujar Umi.Aku hanya tersenyum lesu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
"Ayo keluar....!", ajak Abah.Aku hanya mengikuti beliau.
"Siapa Umi...?", tanyaku saat melihat Abah sedang berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang keluar dari mobil.
"Dia Arman, putranya Kyai Faqih...!"
"Owh, temennya Abah...?", tanya aku. Umi tersenyum mengangguk.
"Sini Siffa...!", panggil Abah. Aku menghampirinya.
"Kenapa Bah...?", tanya aku.
"Kamu berangkatnya sama Arman aja, biar aman..!", tegas Abah.
"Kok gak bawa mobil sendiri aja sih Bah...?", tanya aku.
"Hush.... perempuan gak baik keluar sendirian..!", sambung Umi.
"Sudah, berangkat sana...!", ujar Umi.Setelah mencium dan berpamitan, aku masuk mobil, dan Arman segera mengendarai mobil.
*********
"Mbak suka nulis...?", tanya Arman.
"Siffa...!", sahutku. Ia tampak heran dengan jawabanku.
"Maksudnya...?", ungkapnya. Aku tersenyum.
"Panggilnya Siffa aja, gak pakek Mbak...!", jelasku. Dia mengangguk paham.
"Jadi suka nulis...?", ulangnya.
"Mmm... suka banget...!", tegasku.
"Suka nulis apa...?", tanyanya.
"Cerpen... Tapi sekarang aku lagi merintis novel...!", jelasku.
"Owh...bagus tuch...!", puji Arman. Aku tersenyum.
Setengah jam, mobil berhenti di depan gedung jurnalis. Aku turun dari mobil.
"Makasih Mas.... Siffa masuk dulu. Assalaamu'alaikum...!", ujarku sembari meninggalkannya.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh", Arman menjawab salamku.Degh... jantungku tiba-tiba berdetak hebat.
"Mas...? Jadi aku panggil dia Mas...? Ya Allah... kok aku jadi merinding gini....?".Tak terasa kepalaku menoleh. Degh... aku kembali berdetak saat mendapati Arman tersenyum kepadaku....
"Kenapa aku bahagia begini....?", tanyaku dalam hati.
"Siff....!", suara itu membuyarkan lamunanku.
"Astaghfirullah...!", sentakku saat seorang temanku menepuk pundakku.
"Hhmm.... pagi-pagi kok udah ngelamun...!", ujarnya, aku hanya tersenyum malu.
"Udah gak ngelamun lagi kan...?", lanjutnya. Aku hanya meringis.
"Hehehe... apaan sich...! Emank ada apa...?", tanya aku.
"Pemberitahuan mendadak nih. Miss Elena gak datang hari ini....!", ujarnya.
"Jadi libur...?", tanyaku antusias.
"He'em... ya udah dech Siff. Aku pulang duluan, daaagh...!", ujarnya sembari meninggalkan aku.
"Huuu... terus apa yang mau aku lakuin nih...?", tanyaku sendiri, sesekali membenahi kerudung biru yang tersibak angin.Aku putuskan duduk di kursi koridor, sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan. Jujur, tiba-tiba aku ngerasa bergejolak saat harus satu mobil dengan Arman.
"Ya Allah... perasaan apa ini...?".Drrrr.... tiba-tiba HP-ku bergetar, satu sms dengan nomor yang asing masuk.
"Masih mau tetap di dalam...? Armansyah.", begitu isi sms-nya.Degh.... jantungku kembali berdebar hebat.
"Aduh.... kok dia bisa tahu nomorku? Mmm... dibalas apa nih? Mmm... apa ya? Aku gak tahu kenapa aku jadi sebingung ini...!".Akhirnya aku putuskan untuk beranjak pergi dari tempat ini, tapi...
Bruuugkh.... mata kita beradu. Detak jantungku semakin hebat. Nadiku pun ikut berdesir. Aku bisa merasakan nafas dan bau asma' yang ia kenakan.
"Astaghfirullah...!", segera ku kembalikan tubuhku ke sikap sempurna, saat menyadari tangannya masih menangkap tubuhku.
"Maaf...!", ujarnya halus. Aku hanya bisa tersenyum gamang.
"Kok bisa tau kalau Siffa libur...?", tanyaku mencairkan suasana.
"Dari temen-temennya Siffa. Kalau gitu kita pulang yuk...!", ajaknya.Aku mengangguk mengikuti Arman masuk mobil.
"Kenapa Abah tiba-tiba percaya sama kamu..? Padahal dari dulu Abah selalu melarang Siffa satu mobil sama laki-laki...!", tanya aku antusias. Aku lihat Arman hanya tersenyum.
"Nanti kamu juga akan tahu....!", jawabannya membuatku semakin bertanya-tanya tentang status yang terjadi.
*********
Hhmm.... hari ini aku seneng banget. Mbak Ratih datang dari studinya, soalnya besok Mbak Ratih udah melangsungkan pernikahannya. Aku tersenyum. Akhirnya aku punya kakak ipar juga. Jadi penasaran sama calonnya.
Malam yang dingin ini aku sempatkan menatap bintang-bintang dari jendela kamarku. Mereka berkerlap-kerlip seakan tahu tentang perasaanku yang sedang bahagia. Dengan perasaan bahagia, aku buka buku Diary biru kesayanganku. Aku ingin berbagi kebahagiaan tentang hari ini dan tentang dia.
19 Januari 2013"Ya Allah.... Saat pertama kali Kau turunkan malaikat-Mu di hadapanku.... Saat itulah hamba mulai yakin bahwa Engkau lah yang paling Agung. Engkau ciptakan malaikat seperti dia. Dia yang berhasil membuatku bergetar, ARMANSYAH...Ya Allah.... jadikan dia penuntun hidupku, jika Engkau ciptakan dia untukku. Hamba benar-benar ingin bersamanya.Tapi jika Kau ciptakan dia bukan untukku.... Hhmm.... Hamba akan berusaha yakin bahwa Engkau akan memberikan sesuatu yang lebih baik.... Amiiin.~SIFFA~
Tanpa sadar mataku pun mulai terlelap, menuju mimpi-mimpi indahku malam ini.
**********
Kenapa semuanya seperti ini....? Hari ini semuanya terjawab. Dan hatiku berhasil tergores parang hingga membuatku luka.
Setelah proses akad nikah, aku kembali ke kamar, berganti baju dan membasuh butir-butir air mata yang tadi sempat mengalir deras dengan air wudhu. Aku ingin segera keluar dari hari ini, hari yang membuat hatiku luka, seperti luka "Aisyah" yang ada di cerpenku kemarin. Segera kuambil ransel biruku, tapi langkahku tertahan, air mataku kembali mengalir saat kulihat jaket putih yang kukenakan kemarin pagi saat aku bersamanya. "Ah... Siffa... yang lalu biarlah berjalan". Segera kuhapus air mataku.
"Nanti kamu juga akan tahu...". Kalimatnya saat itu membuat hari ini semakin pedih. Inikah jawaban dari semua itu? Huuuft.... kuhembuskan nafas panjang, membenahi kerudung dan menghapus bekas air mataku. Aku ingin segera menulis harianku ini dalam novelku, agar semua orang tahu bahwa Allah itu Maha Adil. Akupun tersenyum, dan melangkah membuka pintu.
"Assalamu'alaikum Siffa...!", Degh... suara itu menghentikan langkahku. Aku menunduk saat mendapati dia ada di depanku. Tangan kanannya membawa Diary biruku.
"Ya Allah, kenapa ada padanya?", ujarku dalam hati.Aku tak berani menatap wajahnya. Wajah Arman yang membuatku luka.
"Izinkan aku memanggilmu Adik, wahai saudaraku....!", ujarnya.Aku sadar siapa Arman. Dia bukan milikku, tapi dia milik Mbak Ratih.
**********
Kuhentikan mobilku dipinggir danau, ku keluarkan laptop biruku yang selalu menampung cerpen-cerpenku.
Hari ini aku akan menulis tentang hari ini, walau aku harus bertarung dengan air mata yang masih terus mengalir deras dan hatiku yang masih perih...
Aku ingin menulis tentang 20 Januari 2013 ini....
Tentang aku dan butir-butir air mataku....
--TAMAT--
By: Sartika Dewi Anjani (XI IPS 1)
0 komentar:
Posting Komentar